Dampak Perubahan Iklim terhadap Kopi Indonesia: Tantangan dan Solusi untuk Petani

Indonesia adalah negara penghasil kopi besar ke-4 dunia dengan luasan perkebunan lebih dari satu juta hektar. Kopi menjadi sumber penghasilan jutaan petani dan devisa nasional. Namun belakangan ini produksi kopi Indonesia terancam oleh perubahan iklim. Suhu rata-rata naik, pola hujan berubah tak menentu, dan cuaca ekstrem semakin sering terjadi. Dampak ini mulai dirasakan para petani di seluruh daerah penghasil kopi.

Tren Perubahan Iklim dan Kopi di Indonesia

Dalam 10 tahun terakhir, suhu global naik sekitar 1,09°C dibanding era pra-industri. Di Indonesia, hal ini berarti musim panas bisa lebih panas atau musim kering lebih panjang. Para peneliti mencatat setiap kenaikan suhu 1°C dapat menurunkan produksi kopi hingga sekitar 30%. Selain itu pola hujan pun berubah: hujan jadi lebih ekstrem dalam satu kejadian, atau sebaliknya kemarau panjang lebih lama. Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan tren produksi kopi yang meningkat pada dekade lalu, tetapi ketidakstabilan cuaca kini menjadi tantangan baru. Variabilitas iklim (El Niño atau La Niña) mengubah kalender tanam: hujan deras tiba-tiba datang di luar musim atau kemarau panjang memaksa petani mengatur ulang waktu panen. Semua ini berdampak pada kuantitas dan kualitas kopi.

Bagaimana Perubahan Iklim Mempengaruhi Tanaman Kopi

Perubahan suhu, curah hujan, dan musim memberikan efek langsung pada tanaman kopi. Secara sederhana:

  • Suhu udara: Kopi tumbuh optimal pada suhu sekitar 18–23°C. Suhu di atas itu mempercepat pematangan buah namun menurunkan kualitas rasa. Sebaliknya, jika suhu ekstrem rendah (di bawah 3°C) bisa mematikan bagian tanaman kopi. Peningkatan suhu juga mengganggu metabolisme tanaman (fotosintesis dan respirasi), sehingga produktivitas biji kopi menurun. Para peneliti Badan Litbang Pertanian bahkan menyebut perubahan iklim “menurunkan produksi dan kualitas kopi” karena tanaman stres.
  • Curah hujan: Tanaman kopi membutuhkan curah hujan tahunan sekitar 1.200–1.800 mm yang merata sepanjang tahun. Hujan deras yang datang tiba-tiba (misalnya akibat El Niño) bisa menggugurkan bunga atau buah kopi muda, sementara kemarau berkepanjangan membuat tanah kering dan buah sulit berkembang. Misalnya petani Toraja Riniaty melaporkan bahwa “hujan merusak dan menggugurkan bunga, sedangkan hujan pasca panen menghambat penjemuran,” sedangkan “kemarau panjang menghambat perkembangan buah”. Dengan begitu, total hasil panen bisa lebih rendah dari harapan.
  • Pergeseran musim: Pola musim hujan dan kemarau kini tidak menentu. Petani sudah sulit memprediksi kapan hujan datang atau berhenti. Ketika musim hujan terlambat atau tiba terlalu awal, siklus berbunga kopi terganggu. Kondisi ini juga mengundang lebih banyak hama dan penyakit. Suhu hangat dan kelembapan tinggi misalnya mempercepat penyebaran hama penggerek buah kopi dan penyakit karat daun. Tanpa adaptasi, hama-hama tersebut dapat mengurangi kualitas biji dan kesehatan tanaman.

Cerita Petani di Daerah Utama Kopi

Aceh (Kopi Gayo)

Petani memetik biji kopi Arabika di Aceh Gayo.
Petani Gayo, Aceh, merasakan dampak cuaca ekstrem secara nyata. Perubahan iklim membuat curah hujan jadi sangat tidak menentu, sehingga produksi kopi Gayo menurun drastis. Data menunjukkan produksi kopi Gayo merosot hingga sekitar 50%. Seorang petani, Imran dari Desa Bale Redelong, menyebutkan, “Pada 2016 produksi bisa sampai 70 ton sampai 80 ton per tahun, sekarang tinggal 40 ton sampai 30 ton per tahun”. Ia juga mengamati penyakit buah kopi (hama penggerek) menyebar lebih cepat karena pemanasan global. Setiap kali hama itu merusak biji dan batang pohon, pendapatan petani semakin tertekan. Kasus ini menggambarkan bagaimana cuaca tak menentu (hujan deras atau kemarau panjang) membuat panen mengecil dan biaya usaha meningkat.

Toraja (Sulawesi)

Para petani Kopi Toraja juga menghadapi cuaca yang berubah. Riniaty, petani sekaligus pengolah kopi di Tana Toraja, mengungkapkan bahwa saat ini mereka “sudah tidak bisa menebak kapan akan kemarau, kapan akan hujan”. Hujan deras yang datang tiba-tiba membuat bunga kopi gugur dan memicu hama merajalela, sementara musim kemarau yang tiba-tiba panjang menghambat pertumbuhan buah. Imbasnya, produksi kopi Toraja menurun. Menurut Riniaty, “produksi biji kopi di tingkat petani semakin menurun” sehingga harga biji mentah di tingkat petani melonjak drastis – dari sekitar Rp19.000 per liter tahun 2019 menjadi Rp37.000 per liter kini. Cerita Toraja menegaskan: saat cuaca sulit diprediksi, petani harus bekerja ekstra keras dan hasilnya tetap tergerus.

Flores (Kopi Bajawa)

Di wilayah Flores, misalnya Kabupaten Ngada (Bajawa), perubahan iklim juga membawa tantangan berat. Data BPS NTT menunjukkan produksi kopi daerah ini turun tajam: dari 2.502 ton (2021) menjadi hanya 676 ton (2024). Petani setempat melaporkan curah hujan ekstrim dan angin kencang menyebabkan hasil panen tidak maksimal. Nela Ge’u, petani di Bajawa, mengatakan “curah hujan tinggi sehingga hasil panen belum mencapai jumlah yang sama” seperti tahun-tahun sebelumnya. Anselmus, petani lainnya, mengingat tahun 2016 desa mereka sempat mengekspor 233 ton kopi kering ke AS, namun sejak 2018 panen mulai menurun terus-menerus. Anselmus menegaskan, “Iklim sudah beda, sehingga hasil panen tidak maksimal. Cuaca kadang hujan tinggi disertai angin kencang”. Analisis para peneliti juga mencatat, suhu di atas 23°C atau hujan deras saat masa berbunga akan menurunkan jumlah dan kualitas buah kopi. Akhirnya, banyak petani Flores mengaku belum siap menghadapi semua perubahan ini karena informasi dan bantuan teknologi masih terbatas.

Langkah Adaptasi untuk Petani Kopi

Meski tantangannya besar, ada berbagai cara yang bisa membantu petani mempertahankan produksi. Banyak ahli menyarankan langkah adaptasi sederhana sekaligus efektif:

  • Varietas tahan iklim: Menggunakan bibit kopi unggul yang lebih tahan panas atau hama membantu menjaga produksi. Misalnya, menanam klon lokal atau hibrida kopi Arabika/Robusta yang sudah diuji tahan terhadap suhu tinggi dan penyakit. Dengan cara ini, tanaman tidak terlalu “kaget” saat cuaca lebih panas atau lembap.
  • Agroforestri (tanam pohon pelindung): Menambahkan pohon pelindung di kebun kopi (misal pohon sengon, trembesi, atau pohon buah lain) dapat menstabilkan iklim mikro. Pohon naungan membantu menahan panas matahari langsung dan menjaga kelembapan tanah, sekaligus memberikan pendapatan tambahan (misal buah atau kayu). Sistem agroforestri juga mengurangi erosi saat hujan deras.
  • Pengelolaan air dan tanah: Membangun terasering, saluran drainase, parit kecil, lubang resapan (biopori), atau embung (penampungan air) dapat mencegah erosi dan menjaga air tanah. Pemberian mulsa organik di sekitar batang kopi juga mengurangi penguapan air tanah di musim kering. Dengan begitu, saat hujan dan kemarau ekstrem, kebun kopi tetap memiliki cukup air.
  • Kalender tanam adaptif: Menyesuaikan waktu tanam dan panen dengan pola cuaca. Petani bisa mengikuti peringatan dini cuaca atau data iklim lokal (misalnya dari BMKG) untuk mengatur kapan pemangkasan atau pemupukan dilakukan. Misalnya, memundurkan waktu panen jika musim hujan tiba lebih akhir agar buah matang sempurna. Dengan merubah siklus tanam, tanaman kopi dapat lebih kompatibel dengan musim baru yang tidak menentu.
  • Diversifikasi usaha: Selain kopi, menanam tanaman sela (seperti jeruk, alpukat, atau sayur) atau bercocok tanam sistem tumpang sari dapat menjadi cadangan penghasilan jika kopi gagal panen. Diversifikasi juga bermanfaat secara ekologi karena tanah kebun menjadi lebih beragam.

Semua langkah ini menunjukkan bahwa petani tidak harus pasrah. Misalnya, kelompok petani di Sulawesi dan Sumatra saat ini aktif belajar menggunakan teknik bertanam kopi yang lebih tahan cuaca, mendapat pelatihan dari Puslit Kopi dan organisasi swasta, serta mulai beralih ke pupuk organik. Pemerintah dan lembaga pertanian pun semakin gencar memberi pendampingan dan bibit unggul untuk menghadapi krisis iklim.

Dengan langkah adaptasi yang tepat – seperti varietas tahan panas, kebun kopi agroforestri, pengaturan waktu panen, dan manajemen air – petani kopi Indonesia dapat lebih tangguh di tengah perubahan iklim. Meskipun tantangannya berat, strategi-strategi adaptif ini diharapkan membantu mempertahankan hasil panen dan kehidupan petani kopi ke depan.

Sumber: Informasi dikumpulkan dari data dan laporan terkini (BPS, ICO) serta wawancara dan studi lapangan. Misalnya, data BPS dan ICO (2020) menyebutkan luas dan produksi kopi Indonesia, sementara hasil liputan Katadata (2025) dan Mongabay (2025) mendokumentasikan pengalaman nyata petani di Aceh, Toraja, dan Flores. Kajian ilmiah Puslitbang Pertanian juga mengungkap efek pemanasan global pada produksi dan kualitas kopi. Langkah adaptasi diharapkan semakin diadopsi petani dengan dukungan riset dan kebijakan.

baca juga: https://kampuskopi.com/2025/05/12/bagaimana-climate-change-mengubah-produksi-dan-rasa-kopi-dunia/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *