
Presiden AS Donald Trump awal April 2025 mengumumkan kenaikan tarif impor hingga 32% untuk produk Indonesia. Langkah ini mengejutkan dunia usaha, terutama industri kopi yang mengandalkan pasar Amerika Serikat. Dampaknya langsung terasa: beberapa eksportir kecil (UMKM) kopi menunda pengiriman untuk mengkalkulasi kenaikan biaya bea masuk. Misalnya, usaha kopi Wanoja di Bandung – yang biasa mengekspor roasted bean dengan harga kompetitif – segera menangguhkan ekspor ke AS setelah tarif ini diumumkan. Tarif tinggi membuat ongkos kirim melonjak dan margin keuntungan tertekan. Akibatnya, para petani dan pekerja di Lembah Kamojang – sebanyak 108 petani dan 97 pekerja UMKM – kini harus menahan pasokan atau mencari pasar baru. Direktur Wanoja, Satrea Amambi, juga menegaskan bahwa meski pasar Wanoja “lebih dominan ke Eropa dan Arab Saudi”, kehilangan pasar AS tetap “berdampak signifikan” bagi pendapatan mereka.
Di sisi diplomasi, pemerintah Indonesia telah menegosiasikan pengurangan tarif tersebut menjadi 19%. Namun, meski angkanya turun, kebijakan tarif ini tetap memberi tekanan. Ketua AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia), Irfan Anwar, mencatat bahwa tarif 19% Indonesia sebenarnya masih lebih rendah daripada Vietnam (20%) dan jauh di bawah Brasil (50%), sehingga secara struktur berpotensi menguntungkan. Meski demikian, ia menekankan produsen harus memanfaatkan kondisi ini dengan memperkuat kualitas. Irfan mendorong pelaku kopi fokus ke segmen kopi spesialti yang margin-nya tinggi dan konsumen-nya loyal.
Reaksi Petani Gayo, Toraja, dan Flores
Di sentra kopi Nusantara, reaksi petani beragam. Petani kopi Gayo memanen buah kopi Arabika. Situasi pasar AS yang tak menentu mendorong para petani menyesuaikan strategi investasi dan panen. Armiyadi dari Asa Coffee Gayo (Aceh Tengah) menceritakan sempat terjadi kepanikan ketika pengumuman tarif Trump beredar. Sebagian pembeli AS langsung melahap stok dengan harga tinggi – “14, 15 dan 16 ribu per bambu” ceri kopi – karena takut bea masuk diterapkan. Beruntung, kepanikan ini hanya bersifat sementara dan harga kopi Gayo kembali ke kisaran Rp17–20 ribu per bambu setelahnya. Armiyadi memperkirakan lonjakan permintaan di masa transisi justru mendorong kenaikan harga sementara. Meski demikian, ia mengharapkan kebijakan tarif itu “kembali dianulir” dan mengajak petani “menjadi cerdas, paham ekonomi global” agar lebih siap menghadapi dinamika semacam ini.
Di Sulawesi Selatan, ToRi Coffee – UMKM dari Toraja – menghadapi tantangan berbeda. Pendiri ToRi, Citra Wulandari, menegaskan kopi Toraja punya cita rasa unggul dan identitas budaya yang kuat. “Toraja dikenal sebagai salah satu penghasil kopi terbaik di Indonesia,” ujarnya, sehingga ToRi Coffee mengangkat unsur etnik Toraja dalam filosofi brand dan desain produknya. Langkah branding ini memperluas pasar mereka: saat ini ToRi mampu mengekspor kopi Toraja dalam jumlah terbatas ke pelanggan di Australia, Prancis, Jepang, dan Belanda. Pendekatan semacam ini membuktikan kekuatan strategi “single-origin”: menyematkan nama daerah (Toraja) meningkatkan nilai jual kopi di mata konsumen global.
Di wilayah Nusa Tenggara Timur, petani kopi Bajawa di Flores juga giat memperkuat posisi mereka. Marselina Walu, petani dan penggerak koperasi di Bajawa, mendorong petani agar bersikap sebagai produsen sejati: memperlakukan kebun kopi layaknya perusahaan yang mengelola mulai dari penanaman, pasca panen, hingga pemasaran sendiri. Marselina juga menekankan pentingnya mengangkat cita rasa lokal Bajawa sebagai kebanggaan daerah. “Cita rasa kopi Flores harus menjadi ciri khas dan kebanggaan para petani,” ujarnya. Ini selaras dengan perkembangan kopi Bajawa yang kini masuk segmen specialty: berkat perbaikan mutu dan organisasi petani (koperasi dan UPH), harga kopi petani berhasil mendekati 95% harga acuan New York. Kebanggaan atas ciri khas lokal dan kualitas premium inilah yang menjadi kekuatan mereka menghadapi fluktuasi pasar.
Strategi Bertahan: Hilirisasi, Diversifikasi, dan Branding
Menghadapi beban tarif tinggi, para ahli dan pelaku industri kopi menyoroti tiga strategi kunci. Pertama, hilirisasi dan penambahan nilai. Pemerintah bersama asosiasi terus mendorong ekspor kopi olahan (roasted bean, kopi bubuk, kopi sachet, hingga kopi siap seduh). Menurut Menteri Perdagangan Budi Santoso, langkah ini dapat “meningkatkan nilai ekspor secara signifikan sekaligus membuka lapangan kerja dan memperkuat merek kopi Indonesia di pasar global”. Artinya, dengan memproses di dalam negeri, keuntungan ekonomi turunannya naik dan daya saing produk nasional kian kuat.
Kedua, diversifikasi pasar. Para eksportir disarankan tidak tergantung hanya ke AS. Data menunjukkan 63% produksi Wanoja selama ini diekspor ke Jepang, Belanda, Jerman, Arab Saudi, dan Amerika Serikat. Memperluas pasar ke Eropa, Asia Timur (Jepang, Korea), Timur Tengah, maupun Amerika Latin akan mengurangi risiko jika permintaan AS tertekan. Petani dan eksportir juga mengikuti arahan pemerintah untuk aktif di pameran dagang internasional dan magang di kantor dagang luar negeri (ITPC), agar lebih memahami kebutuhan pasar dan aturan ekspor negara tujuan.
Ketiga, branding single-origin. Menonjolkan identitas daerah asal membantu menaikkan harga jual kopi. Misalnya, kopi Gayo Aceh, Toraja Sulsel, dan Flores Bajawa selama ini dikenal unik; mengemasnya dengan label asal daerah (single-origin) dan cerita (storytelling) dapat menarik konsumen specialty yang bersedia bayar premium. Para petani Flores dan Toraja telah merasakan manfaatnya: kopi Bajawa memperoleh Indikasi Geografis, dan ToRi Coffee memosisikan Toraja sebagai kopi etnik unggulan. Dengan citra yang kuat, kopi Nusantara lebih mudah bersaing meski dibebani tarif.
- Hilirisasi dan Nilai Tambah: Mengolah kopi menjadi produk siap jual (roasted bean, bubuk, kopi instan) meningkatkan pendapatan. Pemerintah dan asosiasi memfasilitasi sertifikasi dan akses ekspor bagi UMKM kopi untuk mendongkrak nilai ekspor.
- Diversifikasi Pasar: Mencari pasar baru selain AS, seperti Eropa, Jepang, Timur Tengah, dan Asia Tenggara, membantu menjaga stabilitas permintaan. Peran diplomasi dan promosi dagang dalam negeri penting untuk membuka peluang ini.
- Branding Single-Origin: Mempertegas nama daerah asal (Toraja, Gayo, Flores, dll.) pada produk kopi meningkatkan daya tariknya. Cita rasa khas Gayo, mandheling Toraja, atau Bajawa Flores dijual sebagai nilai keunikan yang tak didapat kopi generik.
Dengan ketiga strategi ini, industri kopi Indonesia berharap tetap bertahan meski menghadapi tarif AS yang tinggi. Irfan Anwar menegaskan, kolaborasi antara pemerintah dan pelaku usaha dapat mengubah tantangan ini menjadi kesempatan. “Dengan kolaborasi tersebut, Indonesia tidak hanya menjadi penghasil kopi, tetapi juga pemain utama dalam rantai nilai kopi dunia yang unggul dalam inovasi, kualitas, dan branding,” tuturnya. Pandangan ini sejalan dengan semangat petani dan eksportir: bahwa meski beban tarif meningkat, Indonesia berpotensi memperkuat posisi kopi spesialnya dengan bekerja lebih cerdas dan strategis.
Sumber: Keterangan dari pelaku industri kopi dan petani (Gayo, Toraja, Flores) serta laporan komprehensif media tentang kebijakan tarif AS.
baca juga: https://kampuskopi.com/2024/05/30/harga-kopi-naik-karena-penurunan-produksi-vietnam/