Bagaimana Climate Change Mengubah Produksi dan Rasa Kopi Dunia

Produksi kopi dunia sangat bergantung pada kondisi iklim. Sekitar 80% kopi global dihasilkan oleh petani kecil, sehingga kenaikan suhu dan perubahan pola cuaca dapat memengaruhi mata pencaharian jutaan keluarga. Studi menunjukkan bahwa peningkatan suhu mempercepat pematangan buah kopi, tetapi justru menurunkan kualitas biji. Ekspos suhu berkelanjutan di atas 30°C dapat merusak tanaman kopi, membuat pertumbuhan terhambat, daun menguning, hingga timbul tumor batang. Misalnya, di daerah Amerika Tengah suhu dan curah hujan ekstrem telah memicu kemunculan hama penyakit baru (seperti karat daun) hingga menyebar ke ketinggian lebih tinggi dibanding sebelumnya. Dampak gabungan perubahan iklim ini mendorong harga kopi melonjak – pada 2024 harga arabika naik ~58% dan robusta ~70% dibanding tahun sebelumnya – serta mempersempit wilayah tanam yang ideal.

Dampak Perubahan Iklim pada Produksi Kopi

Peningkatan suhu dan variabilitas curah hujan menekan produktivitas kopi. Misalnya, kekeringan panjang di Vietnam tahun 2023 menyebabkan penurunan produksi sebesar 20%, dan hujan berlebih April–Mei 2023 di Indonesia merusak panen, menurunkan produksi hingga 16,5%. Kondisi cuaca buruk di Brasil (produksi terbesar dunia) membuat perkiraan panennya dibalik dari kenaikan 5,5% menjadi penurunan 1,6%. Menurut IPCC via NOAA, di Brasil daerah tanam Arabika cocok bisa menyusut drastis: di Minas Gerais dan Sao Paulo lahan kopi yang dulu 70–75% bisa turun menjadi sekitar 20–25% karena pemanasan. Bahkan di beberapa negara Amerika Tengah diproyeksi lebih dari separuh lahan kopi hilang sebelum 2050, dan tinggi tanam minimal naik dari 700 m menjadi sekitar 1.000 m di banyak wilayah. Selain itu, kenaikan suhu global 1–2°C diperkirakan meningkatkan jumlah musim tanam hama kopi (buah kopi matang lebih cepat dan risiko gagal panen meningkat).

Pengaruh terhadap Varietas Arabika dan Robusta

Kopi Arabika (Coffea arabica) tumbuh optimal pada suhu antara 18–21°C. Jika suhu rata-rata naik di atas 24°C, kualitas biji Arabika menurun. Sebaliknya, kopi Robusta (Coffea canephora) yang biasa tumbuh di dataran lebih rendah dan lebih panas, selama ini dianggap lebih tahan suhu tinggi. Namun penelitian terbaru menunjukkan Robusta pun sensitif: optimal untuk Robusta hanya sekitar 20,5°C, dan setiap kenaikan 1°C melebihi itu menurunkan hasil panennya sekitar 14%. Dengan kata lain, meski Robusta mengandung kafein lebih tinggi (menangkal hama) dan biasanya lebih beradaptasi dengan panas, riset Alliance of Bioversity-CIAT memperingatkan produksi Robusta global juga dapat turun tajam jika suhu terus meningkat. Perbedaan rasa kedua varietas ini juga penting: Arabika umumnya memiliki rasa lebih halus dan ber-asam buah, sedangkan Robusta terasa lebih pahit dan kuat. Jika iklim panas mendominasi, pasar diprediksi beralih ke Robusta, tetapi cita rasa kopi spesialitas (Arabika) bakal terancam hilang.

Hama dan Penyakit Baru

Kenaikan suhu dan kelembapan memicu muncul dan penyebaran hama serta penyakit baru di perkebunan kopi. Salah satu contohnya adalah kutu buah kopi (coffee berry borer) yang kini menyebar lebih luas ke ketinggian dan wilayah baru. Studi NOAA melaporkan hama ini berkembang subur saat suhu naik dan menyebar ke semua daerah penghasil kopi di dunia. Di Gunung Kilimanjaro (Tanzania), misalnya, borer sudah muncul 300 meter lebih tinggi dibanding 10 tahun lalu. Per kenaikan 1–2°C suhu, generasi hama ini meningkat pesat dan merusak lebih banyak biji kopi. Selain itu, penyakit karat daun kopi (coffee rust) juga makin parah. Gelombang serangan karat pada 2011 di Amerika Tengah, yang disebut “la roya”, menjangkiti lebih dari separuh lahan kopi dan mengganggu mata pencaharian sekitar 350.000 petani. Hal ini berbeda dengan wabah pada tahun 1970–1980-an yang hanya di dataran rendah; kini karat naik hingga dataran tinggi akibat suhu dan hujan ekstrem.

Hama kutu buah kopi (Hypothenemus hampei) yang merusak biji kopi. Perubahan iklim memicu penyebaran hama ini ke ketinggian lebih tinggi dan meningkatkan generasi ulangnya.

Dari perspektif petani, tekanan ini sangat berat. Perubahan iklim berpotensi menghancurkan mata pencaharian petani kecil yang menggantungkan hidup pada kopi. Oleh karena itu riset iklim dalam kopi juga menyoroti pentingnya strategi adaptasi.

Perubahan Cita Rasa Kopi

Iklim tidak hanya mengubah kuantitas, tapi juga kualitas rasa kopi. Penelitian menunjukkan komponen kimia pembentuk rasa kopi (seperti fenolik, terpenoid, alkaloid) sangat peka terhadap lingkungan. Cuaca panas mempercepat tumbuhnya buah kopi dan cenderung menurunkan jumlah senyawa sekunder pembentuk aroma. Pembaliknya, pengolahan di dataran tinggi atau di bawah naungan (temperatur lebih dingin) justru meningkatkan kompleksitas rasa. Ahli mencatat suhu hangat (tapi tidak ekstrem) umumnya menghasilkan profil rasa manis seperti cokelat, sedangkan cuaca dingin lebih sering melahirkan cita rasa kopi yang lebih kompleks (misalnya aroma buah kering atau bunga). Selain itu, paparan cahaya matahari berlebih (kurangnya naungan) terbukti menurunkan atribut rasa kopi. Secara keseluruhan, perubahan cuaca global cenderung memudarkan keunikan rasa kopi spesialitas Arabika, dan kecenderungan kopi jadi “kurang aromatic dan lebih flat” sering diamati oleh penyangrai dan cuppers saat suhu di kebun naik.

Studi Kasus: Brasil, Ethiopia, dan Indonesia

Brasil: Produsen kopi terbesar dunia, kebanyakan menanam Arabika di wilayah dataran tinggi Minas Gerais dan São Paulo. Studi IPCC menunjukkan peningkatan suhu yang diproyeksikan akan memangkas drastis lahan kopi di sana, misalnya Sisanya tinggal 20–25% dari luas sekarang di Minas/Sao Paulo. Kekeringan parah dan suhu ekstrem bahkan merevisi prediksi panen Brasil 2023/24 menjadi turun 1,6%. Akibatnya, harga kopi di pasar dunia sempat menyentuh rekor tinggi pada 2024.

Ethiopia: Negara penghasil kopi Afrika terbesar ini terutama menanam Arabika Arabika, dengan banyak varietas liar yang kaya keanekaragaman genetik. Ekonom IGC melaporkan bahwa jenis Arabika Ethiopia sangat sensitif terhadap iklim. Kenaikan suhu dan pola hujan yang tidak menentu menyebabkan hasil panen turun, kualitas biji menurun (kopi jadi terasa pahit atau datar), dan lahan ideal menghilang. Misalnya, tanaman kopi di dataran rendah Ethiophia sudah kesulitan karena cuaca panas; yang menguntungkan hanya berada di ketinggian lebih tinggi. Selain itu negara ini kini juga menghadapi serangan hama baru seperti kutu buah kopi seiring perubahan iklim.

Indonesia: Sebagai pengekspor Arabika dan Robusta, Indonesia merasakan dampak cuaca ekstrem. Hujan lebat dan banjir pada April–Mei 2023 di wilayah Sumatra dan Sulawesi rusak banyak buah kopi, menjadikan produksi 2023/24 turun sekitar 16,5%. Sebaliknya, musim kering yang berlebihan di beberapa provinsi menambah risiko kebakaran lahan dan stres tanaman. Para peneliti lokal melaporkan bahwa perubahan cuaca ini juga menggeser musim panen tradisional, memaksa petani menyesuaikan waktu pemangkasan dan pengairan. Akibatnya, cita rasa khas kopi Indonesia (misalnya profil kopi Sumatra yang kaya rempah) menghadapi tantangan baru dari ketidakstabilan iklim lokal.

Adaptasi dan Strategi Tangguh

Untuk menghadapi krisis iklim, industri kopi mulai menerapkan langkah adaptasi. Salah satu strategi yang banyak dianjurkan adalah menanam kopi di bawah naungan pohon (agroforestry). Penelitian menyebutkan sistem kebun kopi teduh dapat menurunkan stres suhu pada tanaman, menjaga kelembapan, dan memberi habitat predator hama seperti burung pemangsa kutu. Pendekatan ini juga mengembalikan keanekaragaman hayati di kebun.

Selain itu, perbaikan genetik menjadi kunci. Organisasi seperti World Coffee Research mengembangkan varietas hibrid F1 yang memiliki vigorisitas: hasil panen lebih tinggi, adaptif terhadap cuaca baru, serta tahan penyakit atau kekeringan. Misalnya, pada tahun 2022 beberapa hibrida baru terbukti punya hasil lebih baik ~28% dibanding varietas konvensional. Intervensi teknologi lain termasuk perbaikan irigasi, sistem alert cuaca untuk petani, dan pengelolaan lahan yang mendukung regenerasi tanah. Penelitian dan pelatihan intensif juga digencarkan, agar petani kecil dapat beralih ke varietas atau teknik tanam yang lebih tahan panas serta meminimalkan risiko penyakit.

Di tingkat makro, lembaga internasional mendorong transparansi pasar dan kerja sama untuk menaikkan investasi R&D kopi berkelanjutan. FAO mencatat bahwa insentif dari harga tinggi kopi 2024 bisa dipakai untuk riset iklim dan membantu petani beralih ke teknik yang lebih tahan iklim. Keseluruhan upaya ini bertujuan agar kopi tetap tumbuh secara stabil, sekaligus mempertahankan cita rasa kopi dunia agar petani dan penikmat kopi tidak kehilangan warisan unik yang telah lama dibudidayakan.

Referensi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *