Third Wave Coffee di Indonesia: Sudahkah Kita Benar‑benar Memahaminya?

Perkembangan budaya ngopi di Indonesia selama dekade terakhir tidak lepas dari gelombang–gelombang (waves) yang mengubah cara kita memandang dan menikmati kopi. Setelah first wave (kopi massal, instan) dan second wave (kopi kedai, espresso, latte), muncul third wave coffee—suatu gerakan yang menempatkan kopi sebagai produk seni kuliner, dengan perhatian pada asal usul biji, proses panen, pemrosesan, hingga seduhan. Namun, seberapa dalam pemahaman kita tentang third wave coffee di tanah air?

1. Apa Itu Third Wave Coffee?

Third wave coffee dipopulerkan di Amerika Serikat pada awal 2000‑an sebagai reaksi terhadap industri kopi komersial. Ciri utamanya adalah:

  • Single‑origin: biji kopi dari satu daerah atau bahkan satu kebun, sehingga karakteristik terroir (tanah, iklim) terjaga.
  • Transparansi rantai pasok: petani, eksportir, roaster, hingga barista terhubung secara terbuka.
  • Kualitas dan rasa: skor cupping di atas 80 (Specialty Coffee), metode pemanggangan ringan–sedang untuk menonjolkan profil rasa alami biji.
  • Teknik seduh presisi: manual brew (V60, AeroPress, syphon) dan espresso yang dikalibrasi secara ilmiah.

Gerakan ini memosisikan kopi sebagai “minuman pengalaman,” bukan sekadar stimulan kafein atau gaya hidup.

2. Sejarah Third Wave di Indonesia

Di Indonesia, third wave mulai muncul sekitar 2013–2015 seiring berdirinya kedai‑kedai specialty di kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Bali. Manual Jakarta misalnya, mencatat pertumbuhan kafe specialty dari “infancy” menjadi ekosistem kopi serius dalam lima tahun pertama. Specialty Coffee Association of Indonesia (SCAI) yang berdiri sejak 2007 juga memperkuat gerakan ini melalui:

  • Pelatihan barista dan Q Grader
  • Kompetisi cupping dan latte art
  • Sertifikasi keberlanjutan (sustainability)

Hingga 2023, lebih dari 800 anggota SCAI aktif mendukung standar third wave di berbagai tingkatan industri kopi domestik dan ekspor.

3. Ciri Kedai Third Wave di Indonesia

Beberapa elemen yang membedakan kedai third wave di Indonesia: ¹

Misalnya, Third Wave Coffee Co. di Bogor menonjolkan proses roasting harian dan keterbukaan data cupping untuk tiap batch biji yang dijual.

4. Tantangan Pemahaman Publik

Meskipun jumlah kedai third wave bertambah, pemahaman masyarakat masih sebatas “kopi mahal” atau “kopi hitam pahit.” Survei internal kedai specialty menunjukkan:

  • 65% pengunjung tidak tahu arti single‑origin
  • 70% kurang memahami perbedaan roast profile
  • Banyak yang beralih ke kopi susu jika tidak ‘suka pahit’

Hal ini menunjukkan kesenjangan edukasi: nilai tambah third wave (transparansi, sustainability, terroir) belum sepenuhnya tersampaikan ke konsumen awam.

5. Koeksistensi dengan Kopi Susu Kekinian

Third wave coffee tidak perlu berkonflik dengan tren kopi susu kekinian. Keduanya mengisi kebutuhan berbeda:

  1. Kopi susu kekinian
    • Fokus pada kemudahan, konsistensi rasa manis, dan branding
    • Harga terjangkau, penyajian cepat (grab‑and‑go)
  2. Third wave coffee
    • Menekankan eksplorasi rasa dan edukasi
    • Pengalaman ngopi lebih lambat, meditatif

Banyak kedai third wave kini menambahkan menu kopi susu (dengan biji specialty) untuk menarik konsumen baru—sebuah strategi bridge product yang efektif.

6. Langkah Memperdalam Pemahaman

Agar third wave coffee semakin dipahami, langkah‑langkah berikut penting dilakukan:

  • Workshop dan demo seduh di kedai dan komunitas kampus
  • Labelisasi origin dan cupping score pada menu
  • Kolaborasi petani‑barista: tur kebun kopi untuk konsumen
  • Konten edukasi digital: video singkat tentang roast profile, brewing

Dengan cara ini, konsumen awam dapat merasakan benefit third wave: rasa kopi yang lebih kompleks, apresiasi pada petani, dan dukungan pada praktik berkelanjutan. Demi memperdalam pemahaman, komunitas kopi internasional akan mengadakan event untuk itu dapat klik link ini https://kampuskopi.com/event-dan-workshop-kopi-ini-akan-segera-diselenggarakan-di-tahun-2025/.

7. Kesimpulan

Third wave coffee di Indonesia telah berkembang pesat sejak pertengahan 2010‑an, didukung oleh organisasi seperti SCAI dan tumbuhnya kedai specialty di berbagai kota. Namun, pemahaman publik masih perlu diperdalam melalui edukasi yang sistematis. Alih‑alih menyingkirkan tren kopi susu kekinian, third wave dapat koeksis dan saling memperkaya ekosistem kopi nasional. Dengan sinergi ini, Indonesia berpeluang tidak hanya menjadi produsen kopi besar, tetapi juga konsumen kopi berkualitas dan teredukasi.

Referensi

  1. “The True Meaning Of Coffee”: In North Sumatra, Third Wave Comes of Age. Sprudge Special Projects (2021) (Sprudge Special Projects Desk)
  2. The Rise and Rise of Third‑Wave Coffee Joints. Manual Jakarta (2016) (Manual Jakarta)
  3. Specialty Coffee Association of Indonesia. Wikipedia (2022) (Wikipedia)
  4. Third Wave Coffee & Roastery – Bogor. Tripadvisor (2018) (Tripadvisor)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *